Tuesday, June 21, 2016

Tahu dan Tempe

TAHU DAN TEMPE

"Jangan mau kayak tahu atau tempe!" teriak sang senior di telinga seorang mahasiswa baru. Mahasiswa yang diteriaki itu  - seorang cowok- kelihatan lututnya sedikit bergetar dan muka tertunduk demi memdengar dampratan seniornya, seorang cewek tomboy.  Entah apa salah mahasiswa baru itu. Aku hanya melihat dan mendengar sepintas adegan "penyiksaan" di tepi selokan berair coklat itu. Tetapi dari ungkapan si senior aku bisa menduga bahwa si yunior dimarahi karena ketidakmampuannya.

Mengapa sih tahu dan tempe sering dipakai sebagai perumpamaan  atas keridakberdayaan dan kelemahan, bahkan kemiskinan? Beberapa teman berkomentar itu gara gara proses pembuatan si tempe yang diinjak injak dan bentuk tahu yang "loyo". Tetapi kalau sudah dibahas nilai gizinya dan sajiannya di meja, tampaknya perumpamaan itu hilang dengan sendirinya.

Sebagai pencinta tempe dan tahu, aku merasa perlu membela si tempe dan tahu. Pertama karena nilai gizinya, kedua karena harganya. Soal nutrisinya, tidak ada yang bisa membantah. Kecuali ada concern terhadap pemakaian pestisida dan herbisida pada kedelai (jangan sampai salah tulis, keledai) impor khususnya yang dari Amerika.  Soal harga, tahu dan tempe bisa dibeli oleh - saya yakin- seluruh rumah tangga Indonesia. Saking merakyatnya ini makanan, pemerintah pun kewalahan menjaga suplainya dan lebih khusus lagi sudah 70 tahun merdeka, tetap tidak mampu menciptakan swasembadanya.

Demikian pentingnya peran tahu dan tempe dalam pembangunan bangsa ini, masih pantaskah orang menggunakan kedua jenis bahan makanan itu sebagai bahan ejekan atas ketidakberdayaan?


Bandung, 19 Agustus 2015
Pencinta tempe, Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment