Sunday, January 29, 2017

TERASI

Aku membuka lemari gantung di atas bak cuci piring. Hhmm, ini dia, kataku dalam hati. Sebuah botol bekas selai kuperhatikan. Masih ada sebongkah benda coklat di dalamnya. Aku buka tutup botol itu, kucium isinya. Langsung aku mengernyit. Sudah tidak karuan baunya. Entah sudah berapa lama dia berada di sana.

Aku melihat sekilas pada wajan yang terjerang di atas kompor minyak tanah. Aroma pedas mulai meruak dari yang kumasak, sambal cabe goreng. Bawang merah, tomat, dan cabe gendot sudah pas komposisinya. Tetapi bau tadi masih ada yang kurang.

Aku mengais-ngais tempat bumbu segar, sebuah keranjang rotan bekas parcel. Bawah merah, bawang putih, jahe, kunyit, laos, beberapa jenis daun ada di sana. Bebapa bungkusan kecil kuperhatikan: merica hitam, ketumbar, jintan. Yang kucari tak ada.

Aku langsung menyambar jilbab yang tergantung di kursi makan. Bergegas aku keluar rumah sambil meraba saku baju gamisku. Ada beberapa lembar uang kertas. Pintu depan kubiarkan tidak dikunci. Begitulah kebiasaanku kalau meninggalkan rumah untuk ke warung. O, kompor. Rasanya tadi sudah kumatikan sebelum memakai jilbab.

"Ada terasi, Pak?" tanyaku pada si penjaga warung di pertigaan gang dekat rumahku.

"Waduh, pas banget baru habis dipakai istri saya" katanya tersenyum.

Aku langsung balik kanan melanjutkan hunting. Ada warung di gang sebelah. Ke sana langkahku tertuju, dengan bergegas. Si pemilik warung sedang melayani seorang pembeli. Tak sabar aku langsung buka suara.

"Terasi, Mbak" kataku singkat padat. Dia berusaha menyibak gantungan aneka bumbu di depan mukaku. Kantung plastik dengan berbagai macam isi bumbu bersusun rapat pada gantungan berbentuk jemuran pakaian.
"Gak ada" katanya tak kalah singkat.

Aku langsung pergi. Pasar kaget di RT sebelah, pagi jam segini, kuharap masih menyisakan beberapa tukang sayur. Aku melangkah cepat ke sana sambil membayangkan sambal pedas yang akan kumakan dengan tempe goreng.  Dari jauh tampak si Mbok yang biasa menjual bawang dan beberapa bumbu, masih duduk di dingklik di bawah payung golf yang sudah tidak jelas gambarnya.  Aku langsung mengarah kepadanya.

"Mbok punya terasi?" aku menebarkan pandang  pada tumpukan dagangannya yang acak acakan.

"Sik, sik, tak cari dulu" katanya sambil tangan keriputnya mengangkat memindahkan barang yang bisa dia jangkau, sambil duduk terbungkuk. Aku ikut "mengacak acak" dagangannya. "Tadi di sini" katanya  bergumam. "Sekarang sudah ndak ada itu".

Aku maju tak gentar. Terbayang kelezatan sambal pedas yang kubuat, dimakan bersama nasi panas. Tak lupa lalap. Dua pedagang sempat kulewati. Di pedagang terakhir aku akhirnya mendapatkannya. Aku bergegas pulang. Sambalku sudah menunggu. Aku tersenyum dalam hati atas perjuanganku pagi ini.

Dari jauh aku melihat orang berkerumun di depan pintu pagarku. Bu Roni, masih pakai daster, berdiri bersebelahan dengan Pak Roni, yang entah membawa apa itu. Ha?! Ember plastik hitam. Ada si Atun, pembantu cuci Bu Dadi. Pak Rt ikut pula? Dan beberapa orang lain. Begitu aku mendekat mereka mulai gaduh.

"Nah, ini Bu Noni" teriak si Atun.
"Ibu dari mana?" Pak Roni dan Bu Roni hampir serentak bersuara.
Wajah mereka cemas.  Beberapa orang juga ada di ruang tamu. Aku jadi tegang.

"Kenapa?l " suaraku langsung meninggi sambil bergegas ke arah dalam.

"Kami tadi mendengar suara ledakan. Lalu si Atun yang lagi nyuci di belakang melihat asap dari dapur Ibu."

Aku langsung terbang ke dapurku. Pak Jun, Pak Odik dan si Rukun, sopir Pak Jun, sedang memandangi dapurku sambil masing-masing menenteng ember platik hitam. Ruangan itu seperti kapal pecah. Lantai becek, tersiram air. Di langit langit ada jelaga. Lemari gantung di dekat kompor, bolong di bagian depannya. Masih mengepul asap dari pintu lemari gantung itu.

"Maaf Bu Noni, kami berinisiatif untuk memadamkan api di dapur Ibu" kata Pak Jun hati-hati. Pandangan mereka bercampur, cemas sekaligus lega.  Aku tak bisa berkata. Kupegang kursi makan, mencari topangan untuk tubuhku yang lemas karena gemetar. Jantungku berdegup kencang. Tiba tiba kepalaku berdenyut denyut. Aku mendudukkan diri di kursi itu.

"Tampaknya Ibu lupa mematikan kompor. Sumbunya mungkin juga longgar sehingga api masuk ke tangki minyak." penjelasan Pak Odik.

Sekilas aku melihat pada wajan yang masih bertengger di atas kompor. Gagangmya yang terbuat dari karet keras, sudah tak berbentuk. Lumer. Sambalku?

Setelah agak tenang, aku baru berbicara. "Terima kasih Bapak dan Ibu." kataku lirih. Apa lagi yang pantas kuucapkan atas kecerobohanku.

"Ibu, tadi pergi ke mana?" tiba tiba Bu Roni sudah memijat pundakku.

"Belanja" jawabku sambil menunduk.

"Ibu mencari apa?" Bu Roni tampak penasaran tetapi suaranya penuh pengertian.

"Terasi" jawabku lesu dan malu.

Bandung, 3 September 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment