Friday, March 31, 2017

SAPU LIDI

"Uwo, nenek ini koq bisa terbang pakai sapu lidi"? keponakan menyorongkan sebuah buku bergambar kepadaku. Pada gambar itu ada seorang nenek berbaju hitam, bertopi hitam model tumpeng, rambutnya panjang terurai diterbangkan angin mengarah ke belakang, sementara sapu yang ditungganginya bergerak melawan arah.
Aku jadi teringat bahwa nenek terbang pada gambar itu sebenarnya adalah  karakter yang sudah lama kukenal. Bukankah  itu karakter jahat yang ada dalam cerita Nirmala di majalah Bobo?  Aku agak bingung mencari jawaban pertanyaan Olin keponakanku. Dulu aku mengartikan itu apa? Lebih tepatnya bagaimana Papa atau Mama dulu mempersepsikan orang yang bisa terbang dengan sapu lidi itu?

" O, nenek ini adalah orang jahat." Bagiku, pertanyaannya adalah serius dan aku serius pula menjawabnya. Katakter jahat perlu diperkenalkan. Tetapi akhirnya kebaikanlah yang menang.

"Jahat bagaimana?" tanyanya lagi. Saatnya untuk menerangkan apa itu kejahatan kepada dia yang berumur 5 tahun.

"Nenek ini suka meminta barang barang dengan memaksa. Kalau tidak dikasih dia akan langsung mengambil barang itu lalu terbang cepat dengan sapu lidinya." Olin melihat ke wajahku mencari pemahaman. "Misal dia mengambil mobilan olin. Boleh nggak  mobilan Olin diambil?"

"Gak boleh. Ini kan punya Olin." jawabnya tegas. "Tetapi Uwo, koq sapu lidi itu bisa disuruh terbang untuk melarikan mobilan Olin?"

"Sapu lidi itu mulanya adalah sapu lidi yang tidak mengerti. Dia mau saja disuruh bersama berbuat jahat. Tetapi lama lama sapu lidi itu sadar, membantu orang untuk berbuat jahat, juga berarti jahat." Aku berhenti sejenak melihat ke wajahnya. Wajah itu sedang berkonsentrasi melihat si nenek terbang itu. Tidak ada pertanyaan. So far berarti dia mengerti.

"Akhirnya sapu lidi itu nggak mau lagi terbang." Aku mengakhiri penjelasanku.

"Jadi si nenek jahat ini tidak bisa terbang lagi? Ditangkap polisi?" Wajah lugu itu mendongak melihat ke arahku.

"Ya." jawabku puas. Tidak ada pertanyaan lanjutan.

Bandung, 24 Okt 2015
Lisa Tinaria

Friday, March 24, 2017

PENGGORENGAN

Pagi tadi aku sempat mengoreng pisang raja bulu (begitu tukang sayur menamainya). Aku ingat dengan kegiatan menggoreng ini dan  beberapa alat untuk menggoreng di kosku karena adanya tugas menulis. Selama ini aku tidak begitu peduli dengannya. Yang ada di benakku selama ini hanyalah outputnya yaitu  telur bebek didadar, sambal goreng cabe rawit merah, capcay atau tumis bayam dan tempe digoreng lalu dimakan ketika panas. Sekarang aku ingin bercerita tentang peralatan yang banyak membantu dalam hidupku itu.

Suatu hari aku melihat teman kosku menggoreng sesuatu lengkap dengan api di dalam penggorengan!! Waduh, kami berdua kaget dan dia segera mematikan kompor. Untung sang makanan masih selamat. Tampaknya ini terjadi karena tempat pengorengan yang dipakai adalah pan untuk mendadar telur. Terlalu kecil sehingga minyak goreng tumpah dan memicu menjalarnya api ke dalam pan.

Namun, setelah kuperhatikan tukang capcay memasak dengan wajan yang agak besar, juga lengkap dengan suguhan api di dalam wajan, aku jadi bertanya-tanya, jadi apa ya penyebab masuknya api itu? Okelah, akhirnya aku mulai memilih bahwa untuk deep frying, alias menggoreng dengan minyak yang banyak, aku tidak memakai pan dadar.

Peralatan berikutnya adalah wajan yang agak besar dengan bahan aluminium agak tipis. Saking ringannya ini wajan, aku pernah hampir celaka ketika memakainya. Wajan ini koq sepertinya, lebih berat kupingnya daripada badan atau loyangnya sehingga ketika ditaruh di kompor, tersenggol sedikit saja bisa miring atau jatuh.

Suatu hari aku menggoreng di wajan ini. Setelah makanan matang, aku memunggirkannya dengan menggesernya dengan sendok ke bibir wajan. Dan, si wajan jadi berat ke pinggir. Ketika itulah dia kemudian oleng dengan menumpahkan minyak panas ke lantai tepat di depan kakiku! Alhamdulillah badanku tidak terkena minyak panas. Berdasarkan pengalaman itu, aku juga kemudian menetapkan bahwa meminggirkan makanan harus dengan memegang si kuping wajan.

Yang ke tiga adalah pan juga dengan ukuran besar dan bahan yang berat. Kupikir menggoreng dengan ini,  lebih safe karena luas  dan steady di atas kompor karena bahannya berat. Apa yang terjadi? Suatu hari aku memasak rendang. Aku harus mengaduk rendang setengah jadi berkali kali dalam waktu hampir dua jam. Aku pikir aku bisa mengaduknya dengan santai, cukup memakai satu tangan saja yaitu tangan kanan untuk mengaduk. Ternyata setiap diaduk, pan bergeser. Selidik punya selidik, ini karena pantat pan yang datar yang diletakkan di atas tungku yang berbahan besi bentuk silinder. Hampir saja rendang itu tumpah ketika aku ceroboh di awalnya. Akhirnya setiap mengaduk, gagang pan harus kupegang dengan tangan yang satunya.

Demikianlah kisah tentang alat penggorengan yang sering kupakai. Aku termasuk sering memasak karena itu salah satu hobiku.

Bandung, 19 11 2016
Lisa Tinaria

Tuesday, March 21, 2017

KARTU NAMA

"Bu Lisa, ada salam dari Bu Antin".

Message memalui WA itu segera diikuti dengan foto seorang teman lamaku. Dia duduk di depan, seperti di panggung. Mungkin dia sedang memimpin rapat atau menjadi sentral di sebuah rapat, bersama dua orang lainnya.

Beberapa detik kemudian dikirimkan foto kartu nama oleh kolegaku. Di kartu itu tertulis nama Antin lengkap dengan jabatan : Direktur (Bla Bla).

Aku tersenyum, dengan perasaan gado gado. Senang, karena temanku sudah sedemikian tinggi jabatannya di sebuah anak perusahaan BUMN. Namun aku juga merasa 'aneh'. Kartu nama itu. Aku tak pernah punya. Kalau aku harus memilikinya, jabatan apa yang pantas dituliskan di sana?

Sudah dua puluh tahun lebih aku bekerja, tak sekali pun aku punya kartu nama yang menunjukkan identitasku sebagai bagian dari PT Pos Indonesia. Tetapi aku pernah memiliki kartu nama yang menunjukkan diriku sebagai seorang Lisa yang lain.

-----

Aku memilih desain kartu nama di antara koleksi yang dimiliki toko pencetakan kartu, undangan dan segala bentuk banner itu. Koleksinya berupa sebuah album khusus kartu nama seukuran buku tulis. Cukup tebal. Aku membolak balik halaman album itu. Design kartu  nama menunjukkan karakter dari orang yang namanya tertulis di situ, sepanjang kartu nama itu pilihan orang itu, bukan didesain oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Karakterku tetaplah tak bisa yang ramai, dengan warna warna mencolok, dengan font tulisan yang jarang dipakai atau aneh. Tak juga sekedar kertas putih dengan lambang atau gambar di salah satu sudut atas. Akhirnya pilihanku jatuh pada warna hijau alpokat yang lembut. Kumintakan ada gambar kartun berbentuk cake yang sebagian sudah diiris. Apa yang ingin kutuliskan di sana?

CHIFFON CAKES
Rasa coklat, tape, pandan, pisang.
Hubungi : Lisa, 08193271***

"Dibuat berapa kotak, Uni?" tanya petugas desain kartu, seorang anak muda yang bersemangat bergabung dengan bisnis yang tampak masih baru itu.

"Satu kotak isinya berapa?" tanyaku.

"Seratus", jawabnya.

Aku bertanya dalam hati, akankah seratus itu habis dalam enam bulan ke depan selama aku di Padang.

"Satu kotak saja" jawabku, sambil meragukan kemampuanku  sehubungan dengan kartu nama itu.

Kartu nama itu selesai esok harinya. Aku puas dengan hasilnya. Elegan.

-----

Sudah seminggu aku mempraktikkan membuat  kue chiffon, kue bolu dengan tekstur halus karena dibuat dengan menggunakan  minyak kelapa. Semua anggota keluarga sudah memberikan nilai bagus untuk kueku itu. Saatnya sekarang untuk uji pasar.

Aku membuat beberapa loyang dengan beberapa rasa. Dua potongan dengan rasa berbeda kumasukkan ke kantong plastik transparan, lalu kantong plastik itu kustapler dengan menempelkan kartu namaku. Aku tersenyum puas.

Saatnya untuk beraksi. Aku bawa sekitar dua puluh plastik lalu datangi dua puluh rumah di RT tempatku tinggal.

"Pak, ini saya kasih contoh kue lembut buatan saya. Kalau mau pesan ini nomornya". Aku mengulurkan kueku kepada seorang bapak yang bengong setelah membuka pintu untukku.

"Ibu lagi nggak di rumah. Saya nggak beli", katanya cepat.

"O, ini gratis", jawabku meluruskan sambil tersenyum. "Terima kasih ya Pak", kataku segera balik kanan.  Takut kalau si bapak  semakin banyak salah sangkanya.

"Oh, saya sakit diabetes. Gak makan kue", komentar seorang ibu.

"Untuk anak ibu", kataku maju tak gentar.

"Ini Lisa to...anak Pak Pos?" Papaku biasa dipanggil Pak Pos di lingkungan rumah kami.

"Hehe...saya sedang belajar berjualan kue", kataku dengan senyum mengembang. Ibu ini menyambutku ramah di teras rumahnya.

Kue itu habis kubagikan. Kutunggu beberapa hari, kue yang kubagikan tak memberikan efek. Atau kartu namaku salah desain?  Ah, aku tak peduli.

Ada kebangaan tersendiri kurasakan sehubungan dengan kartu nama itu. Pepatah Cina mengatakan "Sukses itu separuhnya adalah memulai".  Belajar memasarkan, itulah poin utama yang kudapat. Chiffon cake itu memang tak ada yang memesan. Tetapi aku kemudian punya keberanian menitipkan cake jenis lain di dua warung dekat rumah.

Kegiatan berjualan kue kulakukan sebagai pengisi cuti panjang-ku setelah selesai merawat almarhum adik. Setelah aku kembali bekerja ke Bandung, seorang ibu sempat menanyakan kue buatanku. Untuk sementara hobiku yang satu ini  kusimpan dulu. Mungkin sampai aku bisa punya rumah di Bandung sebagai tempat produksi.

Tentang kartu namaku, masih tersimpan banyak. Letaknya berdekatan dengan kotak karton untuk tempat cake, di rumah di Padang, sebagai saksi bahwa aku bangga terhadap kartu nama itu.

Bandung, 26 Oktober 2015
Lisa Tinaria