Tuesday, March 21, 2017

KARTU NAMA

"Bu Lisa, ada salam dari Bu Antin".

Message memalui WA itu segera diikuti dengan foto seorang teman lamaku. Dia duduk di depan, seperti di panggung. Mungkin dia sedang memimpin rapat atau menjadi sentral di sebuah rapat, bersama dua orang lainnya.

Beberapa detik kemudian dikirimkan foto kartu nama oleh kolegaku. Di kartu itu tertulis nama Antin lengkap dengan jabatan : Direktur (Bla Bla).

Aku tersenyum, dengan perasaan gado gado. Senang, karena temanku sudah sedemikian tinggi jabatannya di sebuah anak perusahaan BUMN. Namun aku juga merasa 'aneh'. Kartu nama itu. Aku tak pernah punya. Kalau aku harus memilikinya, jabatan apa yang pantas dituliskan di sana?

Sudah dua puluh tahun lebih aku bekerja, tak sekali pun aku punya kartu nama yang menunjukkan identitasku sebagai bagian dari PT Pos Indonesia. Tetapi aku pernah memiliki kartu nama yang menunjukkan diriku sebagai seorang Lisa yang lain.

-----

Aku memilih desain kartu nama di antara koleksi yang dimiliki toko pencetakan kartu, undangan dan segala bentuk banner itu. Koleksinya berupa sebuah album khusus kartu nama seukuran buku tulis. Cukup tebal. Aku membolak balik halaman album itu. Design kartu  nama menunjukkan karakter dari orang yang namanya tertulis di situ, sepanjang kartu nama itu pilihan orang itu, bukan didesain oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Karakterku tetaplah tak bisa yang ramai, dengan warna warna mencolok, dengan font tulisan yang jarang dipakai atau aneh. Tak juga sekedar kertas putih dengan lambang atau gambar di salah satu sudut atas. Akhirnya pilihanku jatuh pada warna hijau alpokat yang lembut. Kumintakan ada gambar kartun berbentuk cake yang sebagian sudah diiris. Apa yang ingin kutuliskan di sana?

CHIFFON CAKES
Rasa coklat, tape, pandan, pisang.
Hubungi : Lisa, 08193271***

"Dibuat berapa kotak, Uni?" tanya petugas desain kartu, seorang anak muda yang bersemangat bergabung dengan bisnis yang tampak masih baru itu.

"Satu kotak isinya berapa?" tanyaku.

"Seratus", jawabnya.

Aku bertanya dalam hati, akankah seratus itu habis dalam enam bulan ke depan selama aku di Padang.

"Satu kotak saja" jawabku, sambil meragukan kemampuanku  sehubungan dengan kartu nama itu.

Kartu nama itu selesai esok harinya. Aku puas dengan hasilnya. Elegan.

-----

Sudah seminggu aku mempraktikkan membuat  kue chiffon, kue bolu dengan tekstur halus karena dibuat dengan menggunakan  minyak kelapa. Semua anggota keluarga sudah memberikan nilai bagus untuk kueku itu. Saatnya sekarang untuk uji pasar.

Aku membuat beberapa loyang dengan beberapa rasa. Dua potongan dengan rasa berbeda kumasukkan ke kantong plastik transparan, lalu kantong plastik itu kustapler dengan menempelkan kartu namaku. Aku tersenyum puas.

Saatnya untuk beraksi. Aku bawa sekitar dua puluh plastik lalu datangi dua puluh rumah di RT tempatku tinggal.

"Pak, ini saya kasih contoh kue lembut buatan saya. Kalau mau pesan ini nomornya". Aku mengulurkan kueku kepada seorang bapak yang bengong setelah membuka pintu untukku.

"Ibu lagi nggak di rumah. Saya nggak beli", katanya cepat.

"O, ini gratis", jawabku meluruskan sambil tersenyum. "Terima kasih ya Pak", kataku segera balik kanan.  Takut kalau si bapak  semakin banyak salah sangkanya.

"Oh, saya sakit diabetes. Gak makan kue", komentar seorang ibu.

"Untuk anak ibu", kataku maju tak gentar.

"Ini Lisa to...anak Pak Pos?" Papaku biasa dipanggil Pak Pos di lingkungan rumah kami.

"Hehe...saya sedang belajar berjualan kue", kataku dengan senyum mengembang. Ibu ini menyambutku ramah di teras rumahnya.

Kue itu habis kubagikan. Kutunggu beberapa hari, kue yang kubagikan tak memberikan efek. Atau kartu namaku salah desain?  Ah, aku tak peduli.

Ada kebangaan tersendiri kurasakan sehubungan dengan kartu nama itu. Pepatah Cina mengatakan "Sukses itu separuhnya adalah memulai".  Belajar memasarkan, itulah poin utama yang kudapat. Chiffon cake itu memang tak ada yang memesan. Tetapi aku kemudian punya keberanian menitipkan cake jenis lain di dua warung dekat rumah.

Kegiatan berjualan kue kulakukan sebagai pengisi cuti panjang-ku setelah selesai merawat almarhum adik. Setelah aku kembali bekerja ke Bandung, seorang ibu sempat menanyakan kue buatanku. Untuk sementara hobiku yang satu ini  kusimpan dulu. Mungkin sampai aku bisa punya rumah di Bandung sebagai tempat produksi.

Tentang kartu namaku, masih tersimpan banyak. Letaknya berdekatan dengan kotak karton untuk tempat cake, di rumah di Padang, sebagai saksi bahwa aku bangga terhadap kartu nama itu.

Bandung, 26 Oktober 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment