Monday, October 9, 2017

TANGAN KIRI

Aku menatap nanar pada deretan kamar beruang kecil di depanku. Lampu hanya ada di dalam toilet itu. Itupun yang berukuran lima watt. Tidak ada lampu di pelataran di depan kamar-kamar itu. Aku berjalan lambat menuju salah satu ruang toilet. Ragu, kubuka pintu toilet. Aku celingukan menatap lantai semen yang berwarna gelap. Aku masih berdiri di luar toilet. Tak adakah toilet dengan kualitas lebih baik?  Aku coba melihat ke bilik yang lain. Sama saja. Aku masih belum mengambil keputusan sementara sudah cukup lama aku menahan pipis.  Hanya satu yang pasti dalam suasana seperti ini: toilet bau dengan suasana menyeramkan.  Dengan memaksakan diri, aku akhirnya menyelesaikan hajat di salah satu ruang toilet.

Tempat pemberhentian itu adalah rest area yang paling tidak nyaman selama perjalanan dengan bis ini. Setelah berjuang dengan kondisi toilet sekarang aku harus berhadapan dengan tempat yang disebut "musholla".

"Musholla di mana Mba?" aku bertanya pada seorang pelayan di rumah makan itu. Dia menunjuk pada sebuah ruangan di luar rumah makan, yang letaknya agak menyudut. Sebentar lagi adzan shubuh. Mendekati ruangan itu aku mendapati seorang laki-laki sedang tidur di sana. Tikar lusuh menjadi alas tidurnya dan juga menjadi alas sholat di ruangan itu. Aku mengurungkan niat untuk sholat di situ.

Ketidaknyamanan tempat berhenti itu semakin lengkap dengan pengalamanku berikutnya. Ketika aku akan ke musholla tadi, aku sempat bertatap pandang dengan seorang laki-laki yang sedang makan. Tampaknya dia sedang sahur. Mata kami bersirobok.

Mulanya aku takjub dengan lahapnya dia makan. Suapannya besar memakai jari yang juga besar besar. Tampak jari jari itu berlumuran sambal hijau dengan sebuah lauk, tampaknya ayam goreng.  Kelihatan dia nikmat sekali menghabiskan makanannya di piring putih berbunga. Namun sejurus kemudian aku kaget dan langsung melihat kepada pemilik tangan itu. Dia yang kutatap tak kalah terkejut dan melihat nanar ke mataku. Aku sadar telah salah "menghujat" dia dan dia menyadari itu. Cepat aku mengalihkan mataku ke arah lain. Semua kejadian itu terjadi dalam hitungan dua sampai tiga detik sambil aku melangkah melewati mejanya.

Aku berlalu dari hadapannya kemudian menunggu di teras warung dengan nelongso. Kamar mandi yang menakutkan, musholla bertikar tipis yang menjadi alas tidur seseorang dan seorang pengunjung yang makan lahap dengan tangan kiri. Mengapa bis ini memilih berhenti di sini?

Merak, 3 Juli 2016
Lisa Tinaria
KOMPRESOR JILID DUA

Pukul sembilan malam, akhirnya penumpang disuruh naik ke bis. Kap belakang mobil sudah ditutup, dongkrak sudah dimasukkan, termasuk beberapa kunci. Sang kernet tidak merasa perlu untuk mandi dulu. Mungkin karena mengingat waktu. Kaos oblong berbercak minyak mesin langsung dilapisnya dibalik baju seragamnya.

"Alhamdulillah" beberapa penumpang berkomentar dengan wajah sumringah. Waktunya untuk membayar kesabaran. Sejuk AC langsung terasa. Setiap penumpang bersiap untuk tidur. Ada yang mengembangkan selimut, ada yang memakai baju hangat, ada yang sibuk  mengatur posisi meringkuk. Aku menapakkan kakiku di atas tas pakaian di lantai bis. Rasanya kakiku jadi lebih nyaman. Aku pun tertidur.

Sampailah aku akhirnya  terbangun ketika mobil sedang berhenti. Di mana ini? Di tepi jalan tol!? Aku memandang ke luar jendela. Benar. Di sebelah kanan bis, melaju kendaraan segala rupa, dengan kecepatan tinggi. Di seberang sana juga sama. Mengapa bis ini berhenti di sini?

"Bisa diupayakan ganti mobil!?" suara pak sopir terdengar berteriak. Aku lihat dia sedang menelepon. "Nggak bisa gimana?! Ini kompresor sudah diperbaiki mekanik tadi. Sekarang sudah mogok lagi". Alamak, urusan kompresor ternyata belum selesai.

Aku melihat ke jam digital di dekat kaca depan. Hampir jam sebelas malam. Penumpang di sekelilingku umumnya tidur. Ya, kami sudah terlalu lelah tadi menunggu di udara Bekasi yang panas. Sekarang ruang ber-AC di dalam bis menjanjikan sedikit kenyamanan.

"Waduh, kalau sampai besok siang kita masih di jalan tol ini, pasti panas sekali", kataku kepada pak kernet.

"Kan ada AC" jawabnya enteng. Betul juga pikiran pak kernet. Aa...cchh...sudahlah, aku tak sanggup lebih jauh memikirkan itu. Yang ada di hatiku sekarang ada perasaan iri melihat ke luar jendela. Lampu lampu mobil berwarna putih, kuning dan merah berkerlap kerlip melesat di samping kananku. Semuanya melaju kencang tanpa hambatan di atas jalanan yang saat ini sesuai namanya,  `toll`. Aku pasrah menyadari bahwa kompresor yang tadi diperbaiki di Bekasi ternyata masih bermasalah di toll Merak.

Jalan Toll Merak, 2 Juli 2016
Lisa Tinaria
BAJU LORENG

"Mekaniknya sudah datang?" tanyaku pada pak sopir.

"Belum Bu".

"Kayaknya saya sempat sholat tarawih ya Pak" tanyaku untuk meyakinkan.

"Wah, saya tidak bisa memprediksi Bu, perbaikannya berapa lama". Tetapi bercermin dari pengalaman Astuti yang ditunggui bis sampai dia muncul, aku yakin juga akan ditunggu seperti Astuti, jika terlambat. Akhirnya aku memutuskan untuk sholat tarawih di masjid dekat terminal "jadi-jadian" itu.

Selesai sholat tarawih kap belakang mobil masih terbuka. Weleh, belum selesai. The most wanted man, sang mekanik sedang mengutak atik sesuatu dibantu dengan penerangan dari lampu bis di belakang kap. Sekarang kernet mengeluarkan dongrak. Waduh, tampaknya ada penyakit baru. Dia memasang dongkrak itu di ban kiri belakang. Badan bis terangkat sedikit. Dia dan seseorang yang ada di kolong bis melakukan sesuatu terhadap roda bis yang menurut pandanganku koq besar banget ya. Untungnya urusan ban selesai sekitar sepuluh menit.

Keramaian "terminal" sudah berkurang. Sebagian besar bis sudah berangkat. Aku kebagian tempat duduk sekarang, di salah satu loket. Tidak lama setelah aku duduk, datanglah ke loket itu tiga orang berbaju loreng. Bukan, mereka bukan tentara. Satu orang, perempuan paruh baya berbadan besar, dengan bergaya dibuat semaskulin mungkin. Dia memakai celana jeans dan jaket loreng.  Seorang lagi, laki laki tinggi besar, berkepala botak dan membawa handy talkie. Gayanya seperti pemimpin regu. Yang terakhir seorang laki laki tinggi kerempeng yang membawa beberapa lembar kertas dan pena.

"Jadi, berapa bis yang berangkat sore sampai malam  ini?!" tanya si perempuan sambil berdiri di dekat meja petugas loket. Salah satu tangannya bertengger di pinggangnya, di atas pinggulnya yang lebar.

Petugas loket sibuk membuka buku catatan. "Rolas... eh..." Dia akhirnya sampai pada satu kesimpulan angka.

"Catat lu! Catat!" katanya kepada si kerempeng pembawa catatan, sambil menunjuk pada kertas yang dibawanya.
"Bener nih... ada lagi nggak!?" suara si perempuan dibuat setegas mungkin.

"Sudah. Nggak ada lagi". Penjaga loket mengeluarkan uang dari laci loket kemudian menyerahkan ke perempuan itu. Si perempuan cepat memasukkan uang yang digulung ke dalam kantong celana jensnya.

"Udah ya ? " si botak pemimpin regu menyudahi "tugas" di loket ini. Dia bergaya dengan memegang handy talkienya, tetapi tidak bercakap-cakap lewat benda itu. Rombongan berbaju loreng itu kemudian pindah ke loket sebelah.

Bekasi, 02 07 2016
Lisa Tinaria
ASTUTI

Dengan terseok seok, bis yang tadinya mogok di atas jembatan akhirnya berpindah ke loket bis di sebuah jalan di Bekasi. Tempat itu dikatakan terminal, bukan. Karena wujudnya hanya berupa parkiran bis di pinggir jalan.  Faktanya, loket segala nama bis tujuan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera, tumplek di situ. Alhasil, puluhan bis dan banyak sekali orang membuat tempat itu seperti, ya seperti terminal.    Inilah negeriku tercinta, di mana banyak hal bisa tertukar.

Tak ada cara lain yang lebih pantas untuk diri ini selain segera keluar dari bis, karena di dalam bis sudah sangat panas. Aku berbaur dengan kerumunan. Udara Bekasi dan banyaknya orang, sebenarnya sama membuat panas.

Setiap orang berusaha menghibur diri dalam suasana demikian. Segala sesuatu diusahakan untuk dijadikan tempat duduk. Kursi di dalam setiap loket, paling hanya memuat belasan orang. Akhirnya ada yang duduk di tangga ruko loket, di atas motor yang diparkir, di atas koper dan  kardus bawaan. Sisanya berdiri dan ini yang paling banyak. Termasuk diriku.

Bis yang kutumpangi, yang mogok, dibukalah bagian belakangnya. Orang orang yang berdiri, memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerubungi mesin legam yang terbuka. Sekalian juga memperhatikan diskusi (lebih tepatnya teriakan) di antara crew bis yang desperate dengan tingkah mesin buatan Jerman itu. Terdengarlah kata "kompresor" olehku, disebut oleh salah seorang di antara mereka.  Entah ini binatang jenis apa.

"Ya, mekanik yang di Bogor akan datang". Sang kernet dengan baju kotor penuh minyak mesin seakan membuat press release.

"Dari Bogor? Berapa lama lagi?" salah seorang di antara kami penumpang nyelutuk. Namun hanya sampai di situ. Tidak ada kalimat tajam berikutnya. Aku perhatikan dalam suasana bermasalah seperti ini, semua penumpang relatif maklum. Mungkin karena tidak ada pilihan lain. Mungkin juga karena berempati pada crew bis yang sudah berusaha. Minimal tampak berteriak teriak di telepon, komplain ke kantor pusatnya.

Menunggu tak selalu menjadi pekerjaan yang membosankan. Ada saja hal yang membuat tertawa. Di tengah kerumunan itu berteriaklah seorang laki-laki bersuara lantang. Pantaslah dia diberi jabatan itu karena suaranya. Dia penghitung atau pengecek penumpang.
"Astuti, Astuti, Astutiiiiiiiiii......!!!" Teriaknya.

"Semarang, Jogja, Solo " beberapa petugas yang lain meningkahi dengan meneriakkan nama beberapa kata di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bersahut sahutan mengandalkan kekuatan suara masing - masing. Tidak ada loud speaker.

"Astuti, oh ...Astuti" Si peneriak Astuti mulai putus asa. Mimiknya sedih seperti orang kehilangan. Tinggal si Astuti yang belum hadir. Bis akan diberangkatkan. Dia berusaha berteriak sambil mondar mandir dari pintu bis ke kerumunan orang di depan loket. Suaranya mulai serak.

Ketika sedang di dekat badan bis, seorang perempuan muda muncul dengan anteng.  Serta merta sang peneriak berkata "Iki toh wonge!!!" serta beberapa kalimat bahasa Jawa yang aku tidak mengerti. Walau aku tak paham, aku tetap bisa menangkap nada ceria di balik keras suaranya. Orang orang di sekitarnya yang mendengar, tertawa. Termasuk aku dan beberapa ibu yang mendengar dan melihat dari kejauhan.

Bekasi, 02 07 2016
Lisa Tinaria

Sunday, October 8, 2017

HARI SENIN

Peristiwa ini cukup menghebohkan kantor tempatku bekerja dulu di Pelembang. Apakah karena hari Senin, sehingga pelaku "terlalu bersemangat" sehingga dia lupa suatu hal yang berakibat fatal.

Kantor kami kedatangan tamu dari kantor pusat ketika itu. Semua acara berikut jadwal rinci telah disusun rapi, termasuk jadwal kepulangan si pejabat pusat ke Bandung. Semua acara disusun oleh sebuah bagian dan tampaknya "diketuai", lebih tepatnya didominasi oleh seseorang yang terkenal sebagai "tukang servis" pejabat.

"Sang Aktor" di kantorku ini terkenal dengan kedekatannya dengan pejabat Anu. Dia sering makan malam dengan tamu Ini dan tamu Itu. Belum lagi bepergian tamasya dengan Direktur A dan Direktur B. Pokoknya pergaulannya istimewa, sehingga lupa "menyapa teman sekantor". Ditambah lagi si doi suka berbicara lugas di rapat, tanpa tedeng aling aling. Ini menambah citra tak mengenakkan terhadapnya.

Sampailah suatu hari beberapa temanku terkikik membicarakan sesuatu sambil ngariung.

"Apa!?! ...Disuruh turun dari pesawat?" suara tinggi seorang ibu.

"Iya! Itu pejabat Bandung ternyata salah pesawat. Ee......maksudnya salah hari!" nara sumber cerita itu bersemangat memberikan press release. Aku yang awalnya tak berminat akhirnya ikut nimbrung dalam gossip hot itu, demi mendengar nama si "tukang service pejabat" disebut.

"Syukurin!!" kata seorang yang lain. Aku nyengir saja walau dalam hati nyukurin juga.

Singkat cerita tiket yang disiapkan si "tukang service" ternyata salah. Pada tiket tercantum Selasa, tetapi para tamu diantar ke bandara hari Senin. Jaman itu, sistem di bandara belum terintegrasi sehingga tiket, boarding pass dan manifest baru pada last minute diketahui ada perbedaan. Konon kabarnya tamu pusat itu rebutan kursi di pesawat dengan penumpang lain.

Begitulah cerita tentang si petantang petenteng yang punya network istimewa sehingga lupa dengan teman sekantor sendiri. Dapat dikatakan akhirnya yang mencoretnya dari network kelas atas itu justru pejabat yang dilayaninya. Entah bagaimana reaksi kepala kantorku ketika itu. Apakah dia juga mem "blacklist" anak kesayangannya itu.  Semoga peristiwa Senin Kelabu itu bisa menjadi pelajaran bagi si pelaku dan juga bagi diriku.

Bandung, 21 September 2015
Lisa Tinaria
DUA JULI

Kegiatan hari ini dimulai dengan tidur.  Ya, packing baru selesai lewat tengah malam, hampir jam satu dini hari. Kegiatan packing itu selalu kuawali dengan pikiran " Ah, simple koq. Kan pulang ke rumah sendiri. Tak akan banyak bawaan". Faktanya packing menyita waktu sekitar dua jam. Akhirnya aku puas dengan satu tas pakaian, satu kardus dan satu tas tangan

Kurang pukul empat aku sudah terbangun lagi. Selesai sahur ada missed call dari "rumah padang". Aku menelepon balik.

"Assalamualaikum. Lisa sudah sarapan? Eh, sudah sahur?" Suara yang biasanya tegas tnggi itu, terkesan melunak di hening shubuh tadi. Seorang bapak menelepon anak perempuannya.  "Selamat ulang tahun ya. Sehat?"

"Alhamdulillah" jawabku.

Percakapan kami dari dulu memang bisa dihitung dengan jari kalimat yang meluncur dari kedua pihak. Namun bahwa Papa menelepon sepagi ini, adalah surprise untukku. Juga effort bagi beliau yang jarang menelepon. Telepon ditutup pas ketika adzan Bandung berkumandang. Hei, kami tak sempat berbicara tentang perjalananku hari ini.

Entahlah apakah hari ini pantas disebut hari istinewa, yaitu hari ketika umurku berkurang satu tahun. Tidak, senyatanya berkurangnya umurku terjadi setiap hari bahkan setiap tarikan nafas. Lantas mengapa aku memikirkan hari ini lebih khusus?

Aku memutuskan berangkat ke Padang pada hari ini, tanggal dua Juli. Ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Lebih tepatnya hari libur yang telah lama kunanti. Lebih khusus lagi kepulanganku ke Padang kali ini bukan dengan pesawat udara melainkan dengan bis.

"Ha? Pakai bis?" teman kantorku terperangah begitu kuceritakan bahwa aku sudah dapat tiket. Tiket bis maksudku.

"Berapa lama?" Tanya teman lain, tentang lamanya perjalanan.

"Duduk terus?" Seorang teman beretorika tentang kegiatanku nanti di atas kotak beroda itu.

Semula aku juga ragu apakah akan kuat melaju di darat sepanjang hampir 1500 km. Itu pernah kulakukan beberapa kali ketika mahasiswa dulu. Sekarang sebagai perempuan "jelita" (jelang lima puluh tahun)?

Keraguanku terjawab. Hari liburku totally dua minggu. Aku punya waktu yang banyak untuk menulis. Ya, inilah alasan utama aku pulang naik bis. Salah satu sumber ide adalah traveling. Hanya travelingku kali ini agak unik. Bukan traveling dengan status gambar pesawat terbang seperti biasa temanku menandai statusnya. Melainkan perjalanan dengan grade kenyamanan kelas sekian

Tulisan ini kuselesaikan ketika bis sedang mogok di sebuah jembatan tol di Bekasi.

"Maap (pakai huruf p), toilet jangan dipakai dulu ya. Ada orang di bawah". Terdengar bunyi besi dipukul di bawah sana.

"Maap ya". Sekali lagi si kernet menyampaikan pengumuman. Sekarang dia tidak lagi memakai baju seragam. Dia memakai kaos oblong penuh dengan kotoran berupa lemak dari mesin. Tangannya hitam. Di tangan itu dia memegang sebuah  besi, entah apa. Aku tak paham permesinan mobil.

"Mobil bobrok!". Katanya tiba-tiba dengan suara keras, mengakui sendiri kondisi bis perusahaan tempat dia bekerja.

Sudah setengah jam mesin bis mati. AC tentu saja juga mati. Entah sampai kapan kami akan bertengger di atas jembatan ini. Untungnya posisi bis merapat ke kiri sehingga lalu lintas di jembatan tetap lancar.  Kondisi di dalam bis mulai mengarah ke suasana sauna. Pukul empat sore sekarang. Berapa lama lagi menuju Merak? Macetkah di sana?

Bekasi, dua juli 2016
Lisa Tinaria

Saturday, October 7, 2017

LAUTAN

Kalau tak lupa, aku selalu meminta window seat di pesawat. Apa lagi yang kucari kalau bukan hutan hijau belantara, gunung dan pebukitan, serta lautan.

Aku memanjangkan leherku ke jendela pesawat. Ini perjalan terpanjang melintas lautan dari Jayapura ke Makasar. Hampir tiga jam. Lepas landas, yang tersaji pertama adalah hutan lebat pekat. Aku berpikir nakal, apakah hutan itu sejaman dengan hutan pada film Jurasic Park?  Cukup lama aku rasa hingga pesawat melewati Kepala Burung, lepas dari daratan Papua. Sekarang lautan tak bertepi. Aku agak bergidik melihat sulitnya membedakan mana batas langit dan air.

Warna warni, itulah perhatian utamaku. Nun di sana, warna putih mengarah biru pucat, tampak mendominasi. Aku pikir itulah kaki langit, horizon. Tetapi entahlah. Ditingkah matahari menjelang ashar, tampak sinar keperakan memantul dari permukaan air. Sejalan dengan berubahnya sudut pesawat terhadap datangnya sinar matahari, pantulan perak tadi hilang berganti warna biru, seluas mata memandang.

Pesawat terus melaju. Warna baru muncul. Hijau toska. Aku perhatikan perbedaan warna disebabkan oleh perbedaan kedalaman laut. Lihat, ada sebuah pulau kecil! Di tengah pulau, lagi lagi hutan hijau. Di sekeliling pulau aku bisa melihat pohon kelapa. Pulau itu bertepi landai sehingga daratan kecil itu seperti diberi garis putih oleh Penciptanya. Barulah setelah itu air jernih berwarna hijau toska yang terang. Cahaya matahari yang benderang menampakkan dengan jelas dasar yang dangkal. Semakin ke tengah, warna hijau itu semakin pekat. Akhirnya warna biru di segala penjuru. Apakah itu palung laut, yang konon kedalamannya ribuan meter?

Aku tak henti memperhatikan pemandangan di luar jendela. Tambah lagi langit bersih tak berawan. Benar benar perjalanan yang memuaskan mata. Masih laut, di bawah sana. Sekarang pesawat melewati beberapa pulau kecil dalam sebuah gugusan. Warnanya masih tetap sama hanya bedanya sekarang bulatan bulatan di atas air itu tampak di mataku seperti untaian. Berjejer memanjang, membentuk  kalung? Tidak salah kalau negeriku yang sangat indah ini disebut Jamrud Khatulistiwa.

Bandung, 25 Okt 2015
Lisa Tinaria
ESPRIT DE CORPS

How do you  feel to be an Indonesian? Bagaimana perasaanmu menjadi bagian dari orang pajak? Bagaimana pula perasaanku sebagai orang yang membawa nama Pos Indonesia di pundakku ke mana pun aku pergi. Bagaimana suasana hatiku setiap kali sebuah kelompok yang aku ada di dalamnya disebut? Level keterikatan emosionalku beragam. Mulai dari "I do not feel that I`am part of it", sampai mataku memerah memikirkan sebuah kelompok. Pikiranku tentang perasaan terhadap kelompok, tiba tiba saja muncul, di ruangan ini, di sebuah aula Kantor Pajak, tempat diselenggarakannya sosialisasi Amnesti Pajak.

Tulisan ini ditulis sebagiannya dengan diiringi lagu "Indonesia Pusaka", dengan sepenggal liriknya "walaupun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu". Perasaanku, entahlah. Sempat air mataku  mengambang mendengar penggalan lirik lagu di atas. Kerkelebat wajah Arcandra Tahar yang sedang memberikan tausyiah zhuhur kultum. Dia sebagian dari Indonesia Diaspora yang ingat lirik "tidak kan hilang dari kalbu". Dia, sebagian dari Indonesia sebagai individu yang diakui dunia (Terima kasih Allah atas adanya Habibi the only dan Habibi lainnya). Melintas juga di kepalaku balap karung dan sepakbola yang pemainnya memakai daster, berita full kriminal yang sekilas kutonton tadi di hotel, sebelum berangkat ke auditorium ini, dan wajah Jokowi dengan tax amnesty-nya.

Sebuah kelompok di WA, aku jadwalkan untuk menghapus percakapannya sekian kali sehari, tanpa perlu membacanya. Jika grup itu sedang aktif-aktifnya  maka aku semakin bersemangat menghapus chat yang ada. Tidak ada secuil pun semangat berkomunitas pada diriku, terhadap kelompok itu. Anehnya setelah aku keluar dengan cara sengaja  menghapus grup BBM kelompok itu, adminnya tetap meng-invite-ku lewat WA.

Menjadi orang Pos?

"Mba Lisa, tolong bantuin soal kiriman temanku tujuan Melbourne yang belum sampai juga".

Karena masalah kiriman itulah aku akhirnya berteman di fb dengan pemilik kiriman bermasalah itu.

Apakah Pos identik dengan keterlambatan, kerusakan atau kehilangan kiriman? Entahlah. Namun aku tetap saja orang Pos, dengan - tentu saja - semangat menampilkan  citra yang baik tentang Pos. Hanya kusadari, semangat pencitraan saja tidak cukup di tengah ganasnya persaingan bisnis. Lagi-lagi, apa boleh buat, aku tetaplah mengaku sebagai bagian dari  Pos, yang konon kabarnya akan jadi "juara". Aku menuliskannya dalam tanda kutip, sebagai wujud bahwa kata itu kuakui, pastilah membutuhkan kerja keras.

Berikutnya, menjadi bagian dari Indonesia. Ini  sangatlah tidak sederhana. Kata "cinta" tidaklah cukup. Semangat kelompok, jika hanya berisi yel-yel atau perbuatan destruktif, tentu tak berguna untuk kemajuan kelompok tersebut (baca, negara ini). Balap apa pun sering kali adalah euforia belaka. Bagaimana rumitnya menjadi orang Indonesia, bisa dilihat dari cerita berikut ini.

Beberapa teman Indonesia dan aku mengambil kelas Internasional Business pada MBA course yang kami ikuti di Monash University. Sampailah bahasan pada aspek etika dalam bisnis, terutama dikaitkan dengan ekspansi bisnis ke negara berkembang. Inti bahasannya adalah bahwa perijinan bisnis di negara berkembang identik dengan korupsi dan suap. Ditampilkanlah di layar,  negara berdasarkan peringkat  kejagoannya dalam korupsi.

Selesai mengikuti kelas, temanku Tetty berbisik "Lisa, gue dah khawatir aja kalau Indonesia bakal jadi nomor satu. Mau ditaruh di mana nih muka.  Ternyata ada negara Afrika".

"Hih betul. Pikiranku memang negara kita yang jadi juara". Aku nyengir sambil miris.

Seperti apa pun bobroknya negaraku yang berumur 71 tahun ini, aku tetap merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Masalah terberat - korupsi - adalah masalah yang kupikirkan juga, dalam skala kepalaku yang kecil dan jangkauan tanganku yang  pendek. Masalah lain - yang aku ngeri menyebutkannya -  setidaknya menyadarkanku bahwa ladang kebaikan  sangat luas, jika aku ingin menyumbang untuk perbaikan. Aku tetaplah seorang Indonesia.

Kemungkinan besar - menurutku  -perasaan yang paling membingungkan adalah perasaan pegawai pajak. UU Amnesti Pajak yg dipasarkan oleh Jokowi dengan berbuih-buih, telah digugat ke Mahkamah Konsritusi oleh sekelompok masyarakat dengan dua point utama. Yang pertama bahwa UU tersebut menyelamatkan pengemplang pajak. Yang kedua, UU tersebut, menghalangi polisi, jaksa dan KPK untuk menerapkan tuntutan pidana. Namun, apa boleh buat pegawai pajak seantero negeri harus mati-matian menjelaskan UU itu dengan analogi yang lucu sekalipun. Pada sebuah diskusi tentang amnesti pajak, pegawai pajak menyatakan bahwa "Jika Bapak dan Ibu membayar uang tebusan atas harta yang belum dilaporkan maka itu adalah sedekah yang imbalannya nanti berlipat-lipat". Sebagaimana diketahui pengakuan harta yang dimaksud adalah tanpa melihat dari mana asal usul harta tersebut.

Di ruang besar ini, pegawai pajak yang menjadi nara sumber menyampaikan dengan percaya diri, cerita di balik layar UU heboh ini.

"Kami diberi sosialisasi juga seperti Anda, hadirin. Pertanyaan yang diajukan kepada kami adalah apakah kami ikhlas dengan penerapan UU ini".

Menurutku, pemakaian kata "ikhlas" sudah salah kaprah. Ikhlas adalah mempersembahkan sesuatu murni hanya untuk Allah. Dalam konteks penerapan UU yang "tak sesuai hati", lebih tepat dipakai kata "ridha". Namun, ridho terhadap UU yang menyinggung rasa keadilan rakyat?  Inilah senyatanya esprit de corps. Mereka tetaplah orang pajak.

Akhirnya, semoga esprit de corps, tetap memberi ruang untuk menularkan kebaikan dalam kelompok tersebut.

Jakarta, 23 08 2016
Lisa Tinaria
FREE RIDER

Istilah itu aku dapat dalam sebuah rapat beberapa tahun lalu. Pengungkapnya adalah pemimpin tim tempat aku bekerja. Sampai saat ini aku masih ingat ungkapan itu. Mengapa? Karena aku memakai otak kanan ketika mendengar istilah itu. Aku bertanya-tanya, apakah aku yang sudah bekerja dengan kesungguhan, tetap masuk dalam definisi itu?

Pertanyaan itu sudah muncul beberapa hari sebelum rapat.

"Bu Lisa, besok pagi kita dipanggil untuk briefing", rekan kerjaku mengajakku bicara ketika kami sedang berberes untuk pulang.

"Briefing? Apa? Siapa?"

"Bos".

Keesokan harinya. Ada sekitar empat atau lima orang termasuk aku dalam ruangan kerja bos kami. Semuanya adalah rekan kerja yang satu tim denganku. Kesamaan kami, kami adalah "orang lama". Istilah itu ada ketika itu.

Organisasi tempat kami bekerja, sedang direstrukturisasi. Ada yang pergi dan ada yang datang. Ciri utama dari yang baru masuk adalah mereka "satu gerbong". Istilah itu juga muncul ketika itu. Nah, coba sandingkan istilah "orang lama" dan "satu gerbong". Apa yang tersirat, kira kira? Orang lama perlu dipahamkan bahwa akan terdapat pejabat baru, budaya baru, semangat baru, yang orang lama perlu "memperluas comfort zone-nya" agar dapat menerima kekinian itu. Akan terjadi lonjakan bisnis, bottom line yang spektakuler, dan sejenis itu dengan adanya manajemen baru itu.  So, "do not be free rider". Jangan sampai ente tidak berkontribusi! Titik.

Untuk itulah kami dikumpulkan di ruangan itu, untuk memahamkan kami bahwa kami jangan hanya enak-enakan menikmati keberhasilan organisasi tanpa ikut bekerja. Di depan kami ada sebuah TV flat ukuran besar. Kami duduk menghadap barang itu. Diputarlah sebuah film kartun pendek, seingatku begitu, yang bercerita tentang seorang tukang  kayu.  Alur ceritanya tak kuingat saat ini. Selama tayangan film kartun itu, sang bos memberikan sejenis wejangan. Pesan inti dari film kartun itu:  kalau mau maju harus berubah.

Pesan "harus berubah" itu tak begitulah kupedulikan. Yang bergelayut di kepalaku justru pertanyaan "beginilah caranya mengedukasi diriku dan rekan kerjaku, agar kami lebih giat bekerja". Kata kuncinya adalah "cara".

Di antara yang hadir tersebut, aku adalah yang paling senior. Walau aku tidak berada pada jabatan struktural, aku adalah pemimpin sebuah kelompok kerja di area keuangan dan akuntansi. Ketika itu terdapat rumor.

"Mengapa bukan Bu Lisa saja yang menjabat?" seorang temanku bersungut-sungut.

"Kan sudah ada, dari gerbong baru", timpal temanku lainnya, sambil berbisik. Keduanya bergosip di depanku. Aku hanya nyengir.

Tampaknya briefing itu ditujukan agar aku mendukung kebijakan pejabat baru di keuangan, agar aku tidak memprovokasi yang lain, agar aku tidak makar, agar aku, agar aku... Sebegitu burukkah manajemen menilai diriku?

Keluar dari ruang itu, gaya kerjaku, semangat kerjaku, solidnya aku dengan kelompok kerjaku, tampaknya sama saja. Dalam arti, tidak karena "si tukang kayu", lantas semangat kami menurun atau bertambah. Dari dulu, kalau boleh kusimpulkan, kami bekerja dengan gembira dan memenuhi target.

Sampailah pada sebuah rapat setelah briefing. Istilah free rider, muncul lagi di rapat itu. Dan aku angkat bicara.

"Sebaiknya job description kita, semua, dievaluasi, termasuk job description saya. Jangan sampai saya menjadi free rider".  Kalau kuingat kembali peristiwa itu, aku merasa, bahkan sampai saat ini, bahwa aku adalah pahlawan karena bisa menantang pejabat di rapat itu. Masih kurasakan pertanyaan itu sampai saat ini "Apakah aku ini free rider?". Namun, lebih jauh lagi begitukah cara "merengkuhku"?

Bulan-bulan berlalu, bottom line yang diharapkan akan meloncat itu tetap di "bottom".  Patut juga kusyukuri tampaknya, bahwa aku bukan dari "gerbong baru" tersebut dan tetap menjadi free rider dalam tanda kutip.

Bandung, 05 11 2016
Lisa Tinaria
AKU MENGANGKAT MOBIL

Itu dalam arti sebenarnya, yang terjadi ketika aku pulang diantar oleh taksi, Ya, aku mengangkat taksi itu dengan tanganku, bersama beberapa orang lainnya, termasuk perempuan seperti halnya diriku.

"Neng, nanti kalau balik, lewat jalan ini lagi?" Aku memaklumi kekhawatiran pak supir taksi. Jalan menuju rumah kosku kecil, hanya satu jalur mobil.

"Ya. Nanti di sana ada pertigaan tempat berputar" Aku berusaha mengurangi rasa khawatirnya.

Dia terus menjalankan mobilnya dengan hati hati dengan agak memanjangkan lebernya. Sudah malam, gelap memang. Syukur Alhamdulillah ini mendekati jam sepuluh sehingga mobil taksi yang mengantarku tidak berpapasan dengan mobil lain.

Singkat kata aku turun di depan pagar. Transaksi selesai. Aku menunggui pak sopir memundurkan mobilnya. Ingin kupastikan bahwa "He is OK".

"Lurus, lurus!" teriakku tiba tiba sambil memberi kode dengan dua tanganku, ketika dia terlalu mengambil ke kirii. Namun sudah terlambat dan terjadilah. Roda kiri depan  masuk ke selokan tetangga di seberang rumah kosku.

Pak sopir keluar dari mobilnya. Aku yang semula berdiri di depan pagar, urung membuka pagar. Kudekati Pak sopir taksi.

"Nah, begini nih kalau masuk jalan kecil" nadanya kesal, sepertinya menyalahkan aku.  "Begini jadinya. Saya tuh nggak mau kalau jalannya kecil" katanya sambil berkacak pinggang memperhatikan roda depan mobil taksinya yang sudah terbenam ke dalam selokan rendah.

Aku heran. Aku putar balik memoriku segera. Setengah jam yang lalu.

"Neng, Neng, mari Neng". Dia membukakan pintu taksinya untukku yang sedang berjalan cepat menjauh dari lobby Stasiun Bandung. Sudah hampir  jam sepuluh malam. Alhamdulillah langsung ada taksi di depanku. Otomatis aku memasuki taksi itu. Bukankah Sang Maha Pengatur sudah menetapkan bahwa malam ini dia akan bertransaksi denganku? Rejekinya datang melalui diriku.

Sekarang?

"Ingat ya Pak. Sudah ada ketetapannya bahwa Bapak berjual beli dengan saya". Suaraku tegas, dan kurasa, ya kurasa, sedikit bernada ancaman. Bukankah tadi dia tidak menolak ketika kusebutkan alamatku?  Badanku yang menyandang ransel, tegap lurus menghadap wajahnya. " Saya akan cari bantuan agar mobil ini bisa keluar".

Dengan langkah gagah aku meninggalkannya. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa  Allah tidak sedang main-main dengan kejadian ini.  Pikiranku pada orang orang yang sering berkumpul di warung di depan mulut gang. Sesampai di sana, warung sudah tutup, dan tidak seorang pun ada di sekitar sana.

Aku segera membalikkan badan. Kepalaku tak punya ide lain. Buntu.  "Ya Allah, mudahkan, ya Allah".

Aku kembali ke tempat mobil taksi tadi. Tetangga sudah ada yang keluar. Tampaknya suara keluhan sang sopir taksi cukup terdengar di malam yang mulai senyap. Di satu rumah menjelang ke tempat taksi aku juga menemukan beberapa orang masih bercakap cakap di teras rumah. Hei, tampaknya mereka kedatangan tamu dan sang tamu bersiap siap pulang. Mereka anak anak muda dengan dua motor, sedang mempersiapkan motor mereka.

"Maaf mas bisa minta tolong". Entah ide dari mana, tiba tiba kalimat itu keluar dari mulutku. "Itu ada taksi terperosok, masuk got". Aku menunjuk pada taksi yang tampak tegak miring ke kiri.

Para anak muda itu turun dari motor mereka, saling berkata sesama mereka. Aku tak begitu menyimak. Ada lima orang, termasuk tuan rumah. Seorang di antara mereka, seorang wanita muda. Mereka berjalan ke arah mobil,  bersamaku.

"Kenapa Bu?". Seorang bertanya kepadaku. Aku mengulangi keteranganku. Berlima sekarang, mereka sudah mengerubungi mobil warna kuning itu.

"Pak sopir coba hidupkan mesin".  Seorang memberikan instruksi.

"Coba kamu di sana", kata seorang yang lain.

Mobil dihidupkan, gas ditekan agak dalam, dengan tujuan mundur. Roda yang terperosok berputar cepat, tetapi badan mobil tak terangkat dari selokan walau sudah dibantu diangkat oleh dua orang di sudut itu.

"Pak sopir, ikutan ngangkat aja. Kita keluarkan tanpa mesin. Rem-nya, free".

Akhirnya, diriku memegang bemper mobil sudut kanan depan.

" Ya, sama sama ya! Satu, dua, tiga!"

Sudut kiri depan yang terpuruk, perlahan terangkat dan sekarang rodanya sudah menjejak aspal gang. Pak sopir segera masuk ke mobilnya dan memasang rem tangan agar mobil tersebut tidak balik meluncur ke selokan.  Lantas dia keluar mobil.

"Nuhun ya Kang. Nuhun, nuhun. Teteh, nuhun" katanya kepada anak anak muda yang sudah membantunya. Anak anak muda tersebut mulai berjalan ke arah  motor mereka, bersiap berangkat.

"Terima kasih" kataku berkali-kali kepada mereka.

Pak sopir kembali masuk ke taksinya, menghidupkan mesin dan mulai memundurkan mobilnya mencari tempat putaran. Dia berhasil memutar mobilnya di pertigaan. Ketika akan pergi, dia melambaikan tangannya ke atas, keluar jendela mengarah kepadaku.

"Terima kasih ya Bu" teriaknya kepadaku. Aku mendengarkan dengan diam. Tak menjawab. Tak pula melambai kepadanya. Bukan aku tak menghargainya. Sesuatu berkelebat di kepalaku.

Berapa menitkah kejadian barusan berlangsung? Mungkin tak sampai dua puluh menit, sejak roda mobil itu terperosok hingga kembali ke atas jalan. Mengapa itu terjadi? Terperosok itu adalah atas ijin Allah. Keterlibatan si A si B, dalam peristiwa itu juga atas pengaturan Allah. Kembalinya seperti semula, sang roda, juga atas ijin Allah. Lantas, bagaiman respon masing-masing pemain? Di sanalah intinya.

Beberapa peristiwa beberapa hari terakhir memutar di ingatanku: tak jadi ke Jakarta, karena salah faham tentang pengaturan mobil dinas, terlambat hadir pada acara di Jakarta karena macet di Cipularang. Juga tentang pengaturan acara tax amnesty, yang mendadak diserahkan kepada tim-ku, sehari sebelum hari H. Intinya, sesuatu yang tak disangka - sangka dan menimbulkan ketidaknyamanan. Untuk apa mengumbar adrenalin kalau skenario itu sudah ada, awal dan akhirnya? Cukuplah manusia menjalaninya dengan upaya dan doa.

Bandung, 22 10 2016
Lisa Tinaria

Monday, October 2, 2017

PAKAIAN PENDEKAR HOLLYWOOD

Entah mana yang lebih sakti mandraguna, pendekar buatan lokal atau yang made in Hollywood. Dari segi nama, kupikir, Gundala Putra Petir jauh lebih pretisius ketimbang the Hulk manusia batu. Sementara nama Gatut Kaca, bagiku, tak menyiratkan kekuatan, kemegahan, atau sejenis itu.

Tetapi begitulah, kekuatan mereka lebih ditentukan oleh besarnya modal pembuatnya. Sang Putra Petir, jelas tak dikenal, dan konsekwensinya tak dilihat kesaktiannya oleh orang di Karibia sana. Sebaliknya Batman dan Superman, saking hebatnya, terkenal sampai ke pelosok, termasuk ke kampungku. Terlepas dari ketenaran akan kekuatan mereka, aku lebih tertarik untuk membahas pakaian mereka.

Adalah Superman, yang di sebuah majalah, pakaiannya sempat dibahas. Aku terpingkal pingkal membaca ulasan tentang pakaian sang jagoan ini. Kejadiannya sepuluh tahun yang lalu. Sang hero dikatakan   sebagai orang yang tak tahu dress code. Pasalnya celana dalamnya dipakai di luar. Begitu argumen penulis artikel tentang pakaian itu.

Pakaian Batman pada dasarnya mirip dengan pakaian Superman. Baju menutup seluruh tubuh. Lantas untuk gagah gagahan, kedua superhero ini diberi jubah. Celana dalam Batman, entahlah, mungkin dipakai di luar juga. Tetapi berhubung warna pakaiannya hitam dari kepala hingga kaki maka tak tampak kalau Batman memakai celana dalamnya di luar.

Lantas the Hulk, sang manusia batu. Aku pernah menonton filmnya sekilas di sebuah restoran. Ketika sang hero, yang asal muasalnya adalah manusia dengan ukuran normal, berubah menjadi the Hulk, yang berukuran besar, maka ukuran celana menjadi masalah. Coba bayangkan jika celana itu sobek dalam proses membesarnya badan the Hulk. Celana  pasti langsung terlepas, tercabik-cabik berantakan. Tentu saja ini akan mengganggu tugas the Hulk.

Nah untuk mengantisipasi membesarnya badan, sang hero, lantas mempersiapkan diri dengan memakai celana selutut super besar. Kasihannya, untuk sementara dia terpaksa mengikat pinggang celana itu dengan tali agar tak melorot. Begitu tubuhnya membesar, maka taa...raam..., celana itu sekarang jadi pas di badan the Hulk. Dia jadi percaya diri memainkan peran garangnya.

Demikianlah sekilas tentang pakaian pendekar atau superhero dari Hollywood.

Bandung, 19 04 2016
Lisa Tinaria

Sunday, October 1, 2017

KA BANDUNG JAKARTA 8 JAM

Aku menjejakkan kaki ke lantai yang basah. Aku dekati sebuah atm. Atm di sebelahnya sedang dibuka petugasnya.

"Mana lampunya?" aku merunduk mendekatkan kepala ke slot kartu.

"Maaf Bu, Lampu sengaja dimatikan. Tadi atm ini terendam air sebetis", kata petugas di sebelahku menerangkan. "Dipastikan dulu tidak ada konslet".

Ha? Separah itukah? Selesai mengambil uang aku check in melalui komputer d loby. Lantai loby yang aslinya cling berwarna gading, sekarang dipenuhi sisa lumpur mirip dedak kopi di dasar gelas. Seorang petugas cleaning service sedang mengoperasikan mesin bersuara keras. Mesin penyedot air itu sekaligus berfungsi sebagai pengepel lantai. Seorang supervisor mengawasinya.

Aku melewati gerbang boarding dan memasuki ruang tunggu. Tidak ada lagi tempat duduk. Untuk berdiri saja harus beradu sikut dengan penumpang lain. Semua outlet makanan, penuh. Entah orang orang itu memang perlu makan, atau sekedar duduk duduk.

Hampir pukul empat sekarang. Keretaku, menurut jadwal, lima belas menit lagi. Terdengar pengumuman berkali kali,  "Penumpang KA Argo Parahiyangan untuk jadwal keberangkatan pukul 14.30, dipersilahkan menaiki kereta".  Beberapa orang bergegas melewatiku. "Kami mohon maaf atas keterlambatan ini".

Aku mencoba membunuh waktu sambil berdiri. Yang paling bisa diberdayakan adalah Androidku. Group ini itu memuat gambar pohon tumbang, kanopi terbang, aliran mirip sungai di sebuah perumahan dan  Stasiun Bandung yang sedang digenangi air. Oooo???  Hujan yang sekitar satu jam setelah adzan dzuhur tadi benar benar telah menimbulkan sebuah pertanyaan dari temanku "Ada apa dengan Bandung?"

Aku mencoba mencari tempat duduk dengan, apa lagi kalau bukan dengan membeli makanan di sebuah franchise. Ada satu kursi tersisa, yang kulirik ketika masuk tadi. Pilihan menu terpampang pada billboard di atas kepala pramusaji. Niatku hanya ingin duduk. Akhirnya, karena niat itu juga, menu yang terpilih, tak termakan. Aneh sekali - lebih tepat agak ngeri - aku merasakan sensasi "gizi" sajian di bawah hidungku. Rupanya duduk pun tak nyaman di situ. Piring bekas makan tidak diangkat dari meja tempat aku makan.

Berdiri dan berdiri, lalu aku coba berjalan, sekedar menggerakkan kaki.  Pintu Selatan, pintu Utara sama sesaknya. Banyak orang duduk di tangga atau di atas barang bawaan mereka.

"Kami mohon maaf atas keterlambatan ini".

"Kami informasikan bahwa kereta api Argo Parahiyangan masih tertahan di Stasiun Cimahi".

" Kami informasikan bahwa kereta api Lodaya, baru akan memasuki stasiun".

"Kami sampaikan bahwa kereta lokal Bandung Raya, segera tiba dan berada di jalur 2".

Akhirnya "Para penumpang dipersilakan menaiki kereta api Argo Parahiyangan di jalur 6".

Aku memasuki gerbong yang lantainya basah seperti lantai kamar mandi plus jejak jejak bekas kaki.

"Ini air banjir masuk tadi, Bu".  Seorang petugas menggerakkan alat pel-nya di bawah kakiku yang kuangkat. Dia mengerjakannya di sela sela sliweran penumpang yang naik. Kami semua ingin duduk segera setelah berdiri tak jelas di luar sana.

Kupikir kereta api akan segera bergerak, tetapi ternyata tidak. Penumpang sudah duduk manis dan sebagian mereka  membuka perbekalan makanan. Tidak ada lagi penumpang yang masuk. Maghrib tiba dan aku pun sudah menunaikan sholat jamakku. Kereta tetap diam.

"Atas nama PT Kereta Api Indonesia, kamj mohon maaf karena terdapat gangguan sinyal, sehingga kereta api belum bisa diberangkatkan".

Sekitar pukul setelah tujuh, akhirnya kereta bergerak. "Perjalanan dari Stasiun Bandung ke pemberhentian terakhir, stasiun Gambir, memakai waktu tiga jam dan enam belas menit".

Sepuluh menit menjelang pergantian hari, kereta saat ini masih di Stasiun Kosambi. Beberapa kali kereta berjalan kemudian berhenti. Namun berhenti yang paling lama adalah di dekat Stasiun Cikampek.

"Ini bukan stasiun ternyata".

"Kalau berhentinya di stasiun, kita bisa merokok dan nyari makanan".

"Silakan ambil Bu" seorang petugas membagikan mie instan dalam kemasan cup. Ini adalah "harga" yang harus dibayar PT KAI atas keterlambatan karena cuaca ini. Berikutnya adalah petugas yang membagikan air minum dalam botol kemasan

"Saya boleh minta air hangat?"

"Sudah habis, Bu".

"Air panasnya ngantri di dapur" ungkap seorang penumpang yang berhasil membawa sebuah cup mengepul. Makanan atau minuman hangat setidaknya bisa menjadi pengobat kecewa dan pelawan dingin.

"Apa AC-nya nggak bisa disetel?" seorang ibu yang membawa anak mengomentari dinginnya udara di dalam gerbong. Celakanya dia memakai celana pendek selutut dan baju lengan pendek. Tampaknya Ibu inilah yang membalurkan minyak kayu putih, sehingga bau "parfum" itu berbaur dengan bau mie instan di dalam ruangan tak berventilasi itu.

Kereta bergerak lagi sekarang, setelah berhenti yang ke sekian kali. Senin sudah sekarang. Kulihat jam di pergelangan tanganku. Jam dua dini hari aku memasuki kamar hotel dengan badan melayang.  Sebelum jam sembilan pagi aku sudah harus hadir di acara training di Kuningan.

Senin, 14 11 2016
Lisa Tinaria