Saturday, October 7, 2017

AKU MENGANGKAT MOBIL

Itu dalam arti sebenarnya, yang terjadi ketika aku pulang diantar oleh taksi, Ya, aku mengangkat taksi itu dengan tanganku, bersama beberapa orang lainnya, termasuk perempuan seperti halnya diriku.

"Neng, nanti kalau balik, lewat jalan ini lagi?" Aku memaklumi kekhawatiran pak supir taksi. Jalan menuju rumah kosku kecil, hanya satu jalur mobil.

"Ya. Nanti di sana ada pertigaan tempat berputar" Aku berusaha mengurangi rasa khawatirnya.

Dia terus menjalankan mobilnya dengan hati hati dengan agak memanjangkan lebernya. Sudah malam, gelap memang. Syukur Alhamdulillah ini mendekati jam sepuluh sehingga mobil taksi yang mengantarku tidak berpapasan dengan mobil lain.

Singkat kata aku turun di depan pagar. Transaksi selesai. Aku menunggui pak sopir memundurkan mobilnya. Ingin kupastikan bahwa "He is OK".

"Lurus, lurus!" teriakku tiba tiba sambil memberi kode dengan dua tanganku, ketika dia terlalu mengambil ke kirii. Namun sudah terlambat dan terjadilah. Roda kiri depan  masuk ke selokan tetangga di seberang rumah kosku.

Pak sopir keluar dari mobilnya. Aku yang semula berdiri di depan pagar, urung membuka pagar. Kudekati Pak sopir taksi.

"Nah, begini nih kalau masuk jalan kecil" nadanya kesal, sepertinya menyalahkan aku.  "Begini jadinya. Saya tuh nggak mau kalau jalannya kecil" katanya sambil berkacak pinggang memperhatikan roda depan mobil taksinya yang sudah terbenam ke dalam selokan rendah.

Aku heran. Aku putar balik memoriku segera. Setengah jam yang lalu.

"Neng, Neng, mari Neng". Dia membukakan pintu taksinya untukku yang sedang berjalan cepat menjauh dari lobby Stasiun Bandung. Sudah hampir  jam sepuluh malam. Alhamdulillah langsung ada taksi di depanku. Otomatis aku memasuki taksi itu. Bukankah Sang Maha Pengatur sudah menetapkan bahwa malam ini dia akan bertransaksi denganku? Rejekinya datang melalui diriku.

Sekarang?

"Ingat ya Pak. Sudah ada ketetapannya bahwa Bapak berjual beli dengan saya". Suaraku tegas, dan kurasa, ya kurasa, sedikit bernada ancaman. Bukankah tadi dia tidak menolak ketika kusebutkan alamatku?  Badanku yang menyandang ransel, tegap lurus menghadap wajahnya. " Saya akan cari bantuan agar mobil ini bisa keluar".

Dengan langkah gagah aku meninggalkannya. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa  Allah tidak sedang main-main dengan kejadian ini.  Pikiranku pada orang orang yang sering berkumpul di warung di depan mulut gang. Sesampai di sana, warung sudah tutup, dan tidak seorang pun ada di sekitar sana.

Aku segera membalikkan badan. Kepalaku tak punya ide lain. Buntu.  "Ya Allah, mudahkan, ya Allah".

Aku kembali ke tempat mobil taksi tadi. Tetangga sudah ada yang keluar. Tampaknya suara keluhan sang sopir taksi cukup terdengar di malam yang mulai senyap. Di satu rumah menjelang ke tempat taksi aku juga menemukan beberapa orang masih bercakap cakap di teras rumah. Hei, tampaknya mereka kedatangan tamu dan sang tamu bersiap siap pulang. Mereka anak anak muda dengan dua motor, sedang mempersiapkan motor mereka.

"Maaf mas bisa minta tolong". Entah ide dari mana, tiba tiba kalimat itu keluar dari mulutku. "Itu ada taksi terperosok, masuk got". Aku menunjuk pada taksi yang tampak tegak miring ke kiri.

Para anak muda itu turun dari motor mereka, saling berkata sesama mereka. Aku tak begitu menyimak. Ada lima orang, termasuk tuan rumah. Seorang di antara mereka, seorang wanita muda. Mereka berjalan ke arah mobil,  bersamaku.

"Kenapa Bu?". Seorang bertanya kepadaku. Aku mengulangi keteranganku. Berlima sekarang, mereka sudah mengerubungi mobil warna kuning itu.

"Pak sopir coba hidupkan mesin".  Seorang memberikan instruksi.

"Coba kamu di sana", kata seorang yang lain.

Mobil dihidupkan, gas ditekan agak dalam, dengan tujuan mundur. Roda yang terperosok berputar cepat, tetapi badan mobil tak terangkat dari selokan walau sudah dibantu diangkat oleh dua orang di sudut itu.

"Pak sopir, ikutan ngangkat aja. Kita keluarkan tanpa mesin. Rem-nya, free".

Akhirnya, diriku memegang bemper mobil sudut kanan depan.

" Ya, sama sama ya! Satu, dua, tiga!"

Sudut kiri depan yang terpuruk, perlahan terangkat dan sekarang rodanya sudah menjejak aspal gang. Pak sopir segera masuk ke mobilnya dan memasang rem tangan agar mobil tersebut tidak balik meluncur ke selokan.  Lantas dia keluar mobil.

"Nuhun ya Kang. Nuhun, nuhun. Teteh, nuhun" katanya kepada anak anak muda yang sudah membantunya. Anak anak muda tersebut mulai berjalan ke arah  motor mereka, bersiap berangkat.

"Terima kasih" kataku berkali-kali kepada mereka.

Pak sopir kembali masuk ke taksinya, menghidupkan mesin dan mulai memundurkan mobilnya mencari tempat putaran. Dia berhasil memutar mobilnya di pertigaan. Ketika akan pergi, dia melambaikan tangannya ke atas, keluar jendela mengarah kepadaku.

"Terima kasih ya Bu" teriaknya kepadaku. Aku mendengarkan dengan diam. Tak menjawab. Tak pula melambai kepadanya. Bukan aku tak menghargainya. Sesuatu berkelebat di kepalaku.

Berapa menitkah kejadian barusan berlangsung? Mungkin tak sampai dua puluh menit, sejak roda mobil itu terperosok hingga kembali ke atas jalan. Mengapa itu terjadi? Terperosok itu adalah atas ijin Allah. Keterlibatan si A si B, dalam peristiwa itu juga atas pengaturan Allah. Kembalinya seperti semula, sang roda, juga atas ijin Allah. Lantas, bagaiman respon masing-masing pemain? Di sanalah intinya.

Beberapa peristiwa beberapa hari terakhir memutar di ingatanku: tak jadi ke Jakarta, karena salah faham tentang pengaturan mobil dinas, terlambat hadir pada acara di Jakarta karena macet di Cipularang. Juga tentang pengaturan acara tax amnesty, yang mendadak diserahkan kepada tim-ku, sehari sebelum hari H. Intinya, sesuatu yang tak disangka - sangka dan menimbulkan ketidaknyamanan. Untuk apa mengumbar adrenalin kalau skenario itu sudah ada, awal dan akhirnya? Cukuplah manusia menjalaninya dengan upaya dan doa.

Bandung, 22 10 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment