Saturday, October 7, 2017

ESPRIT DE CORPS

How do you  feel to be an Indonesian? Bagaimana perasaanmu menjadi bagian dari orang pajak? Bagaimana pula perasaanku sebagai orang yang membawa nama Pos Indonesia di pundakku ke mana pun aku pergi. Bagaimana suasana hatiku setiap kali sebuah kelompok yang aku ada di dalamnya disebut? Level keterikatan emosionalku beragam. Mulai dari "I do not feel that I`am part of it", sampai mataku memerah memikirkan sebuah kelompok. Pikiranku tentang perasaan terhadap kelompok, tiba tiba saja muncul, di ruangan ini, di sebuah aula Kantor Pajak, tempat diselenggarakannya sosialisasi Amnesti Pajak.

Tulisan ini ditulis sebagiannya dengan diiringi lagu "Indonesia Pusaka", dengan sepenggal liriknya "walaupun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu". Perasaanku, entahlah. Sempat air mataku  mengambang mendengar penggalan lirik lagu di atas. Kerkelebat wajah Arcandra Tahar yang sedang memberikan tausyiah zhuhur kultum. Dia sebagian dari Indonesia Diaspora yang ingat lirik "tidak kan hilang dari kalbu". Dia, sebagian dari Indonesia sebagai individu yang diakui dunia (Terima kasih Allah atas adanya Habibi the only dan Habibi lainnya). Melintas juga di kepalaku balap karung dan sepakbola yang pemainnya memakai daster, berita full kriminal yang sekilas kutonton tadi di hotel, sebelum berangkat ke auditorium ini, dan wajah Jokowi dengan tax amnesty-nya.

Sebuah kelompok di WA, aku jadwalkan untuk menghapus percakapannya sekian kali sehari, tanpa perlu membacanya. Jika grup itu sedang aktif-aktifnya  maka aku semakin bersemangat menghapus chat yang ada. Tidak ada secuil pun semangat berkomunitas pada diriku, terhadap kelompok itu. Anehnya setelah aku keluar dengan cara sengaja  menghapus grup BBM kelompok itu, adminnya tetap meng-invite-ku lewat WA.

Menjadi orang Pos?

"Mba Lisa, tolong bantuin soal kiriman temanku tujuan Melbourne yang belum sampai juga".

Karena masalah kiriman itulah aku akhirnya berteman di fb dengan pemilik kiriman bermasalah itu.

Apakah Pos identik dengan keterlambatan, kerusakan atau kehilangan kiriman? Entahlah. Namun aku tetap saja orang Pos, dengan - tentu saja - semangat menampilkan  citra yang baik tentang Pos. Hanya kusadari, semangat pencitraan saja tidak cukup di tengah ganasnya persaingan bisnis. Lagi-lagi, apa boleh buat, aku tetaplah mengaku sebagai bagian dari  Pos, yang konon kabarnya akan jadi "juara". Aku menuliskannya dalam tanda kutip, sebagai wujud bahwa kata itu kuakui, pastilah membutuhkan kerja keras.

Berikutnya, menjadi bagian dari Indonesia. Ini  sangatlah tidak sederhana. Kata "cinta" tidaklah cukup. Semangat kelompok, jika hanya berisi yel-yel atau perbuatan destruktif, tentu tak berguna untuk kemajuan kelompok tersebut (baca, negara ini). Balap apa pun sering kali adalah euforia belaka. Bagaimana rumitnya menjadi orang Indonesia, bisa dilihat dari cerita berikut ini.

Beberapa teman Indonesia dan aku mengambil kelas Internasional Business pada MBA course yang kami ikuti di Monash University. Sampailah bahasan pada aspek etika dalam bisnis, terutama dikaitkan dengan ekspansi bisnis ke negara berkembang. Inti bahasannya adalah bahwa perijinan bisnis di negara berkembang identik dengan korupsi dan suap. Ditampilkanlah di layar,  negara berdasarkan peringkat  kejagoannya dalam korupsi.

Selesai mengikuti kelas, temanku Tetty berbisik "Lisa, gue dah khawatir aja kalau Indonesia bakal jadi nomor satu. Mau ditaruh di mana nih muka.  Ternyata ada negara Afrika".

"Hih betul. Pikiranku memang negara kita yang jadi juara". Aku nyengir sambil miris.

Seperti apa pun bobroknya negaraku yang berumur 71 tahun ini, aku tetap merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Masalah terberat - korupsi - adalah masalah yang kupikirkan juga, dalam skala kepalaku yang kecil dan jangkauan tanganku yang  pendek. Masalah lain - yang aku ngeri menyebutkannya -  setidaknya menyadarkanku bahwa ladang kebaikan  sangat luas, jika aku ingin menyumbang untuk perbaikan. Aku tetaplah seorang Indonesia.

Kemungkinan besar - menurutku  -perasaan yang paling membingungkan adalah perasaan pegawai pajak. UU Amnesti Pajak yg dipasarkan oleh Jokowi dengan berbuih-buih, telah digugat ke Mahkamah Konsritusi oleh sekelompok masyarakat dengan dua point utama. Yang pertama bahwa UU tersebut menyelamatkan pengemplang pajak. Yang kedua, UU tersebut, menghalangi polisi, jaksa dan KPK untuk menerapkan tuntutan pidana. Namun, apa boleh buat pegawai pajak seantero negeri harus mati-matian menjelaskan UU itu dengan analogi yang lucu sekalipun. Pada sebuah diskusi tentang amnesti pajak, pegawai pajak menyatakan bahwa "Jika Bapak dan Ibu membayar uang tebusan atas harta yang belum dilaporkan maka itu adalah sedekah yang imbalannya nanti berlipat-lipat". Sebagaimana diketahui pengakuan harta yang dimaksud adalah tanpa melihat dari mana asal usul harta tersebut.

Di ruang besar ini, pegawai pajak yang menjadi nara sumber menyampaikan dengan percaya diri, cerita di balik layar UU heboh ini.

"Kami diberi sosialisasi juga seperti Anda, hadirin. Pertanyaan yang diajukan kepada kami adalah apakah kami ikhlas dengan penerapan UU ini".

Menurutku, pemakaian kata "ikhlas" sudah salah kaprah. Ikhlas adalah mempersembahkan sesuatu murni hanya untuk Allah. Dalam konteks penerapan UU yang "tak sesuai hati", lebih tepat dipakai kata "ridha". Namun, ridho terhadap UU yang menyinggung rasa keadilan rakyat?  Inilah senyatanya esprit de corps. Mereka tetaplah orang pajak.

Akhirnya, semoga esprit de corps, tetap memberi ruang untuk menularkan kebaikan dalam kelompok tersebut.

Jakarta, 23 08 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment