Sunday, November 12, 2017

DENGKUL

Lila sedang duduk di kendaraan favoritnya, angkot, pada suatu siang yang terik. Sekarang sang angkot sedang melaju sangat pelan. Namun lebih tepatnya bukan melaju. Ini macet.
Ada apa di depan sana? Tak ada tanda keramaian. Ada kecelakaan? Di jalan utama yang padat ini?

"Macet euy. Panjang amat antrian lampu merah ini". Pak sopir membunyikan tuter mobil angkot tuanya. Bunyinya cempreng, menjerit- jerit.  Entah apa manfaatnya, dia berkali kali memencet tombol di dekat kaca depan.

Hanya ada tiga penumpang di bagian belakang angkot. Lila leluasa mengatur posisi duduknya.  Dibukanya maksimal jendela angkot, di dekat dia duduk. Sekarang Lila bisa melongokkan kepala menghirup udara luar. Lumayan. Mengurangi panas.

Di sekitar jarak  dua mobil di depan angkotnya,  berdiri di tepi jalan, seorang laki laki lusuh. Dia separuh baya dengan hiasan uban di rambut  dan kerut di muka. Bajunya kemeja putih. Kata teman Lila, warnanya lebih tepat disebut putih tua, alias sudah kumal. Paduan kemeja "putih" itu adalah sarung motif kotak-kotak. Dulu warna aslinya mungkin merah. Sekarang warnanya tak jelas.

Yang menarik, dia berdiri dengan bertopang pada kruk. Kruk itu dijepitkan di ketiak kirinya. Apa yang salah pada kakinya? O, tampaknya kaki kirinya buntung sampai ke lutut. Di tengah kruk ada kayu melintang. Di sanalah dengkulnya diletakkan. Dengkul itu kelihatan membulat, dibungkus rapi dengan sarungnya.

Tangan kirinya memegang kruk, untuk menjaga keseimbangan. Tangan kananya bebas bergerak. Di tangan kanan itu terdapat sebuah wadah, kobokan berwarna hijau menyala. Dia menjulurkan wadah itu ke setiap mobil yang lewat.

"Assalamualaikum, Pak Haji, Bu Haji". Suaranya lemas dengan mimik memelas. Kalimat itu diucapkan berulang, setiap kali mobil yang lewat di depannya bertukar. Sekarang Lila tepat berada di depannya. Lila diam saja, bergeming. Keduanya saling menatap. "Bu Haji" katanya sambil menyodorkan mangkok hijau menyala ke hadapan Lila.

Tiba-tiba sang pengemis balik kanan, dengan cepat. Kruknya dilepas dalam sekejap dan ditenteng dengan tangan kirinya. Dia berjalan cepat melangkahi marka jalan. Ha!? Dia bisa berjalan tanpa kruk! Sekarang malah dia berlari di sela-sela mobil macet di jalur berlawanan.

"Hayo, hayo, siapa berani mengemis lagi. Di sini, di sekitar daerah sini?". Tiba tiba di depan Lila berdiri seorang laki laki muda, berkulit hitam, berbaju seragam satpol PP. Suaranya lantang. Dia berteriak sambil mengancungkan pentungannya ke angkasa.

"Pakai pura-pura berkaki buntung. Coba kalau buntung sekalian!" Pengemis yang jadi biang kemarahannya sudah pergi. Lantas kepada siapa sasaran teriaknya? Lila yang berada tepat di dekatnya, dapat merasakan kekesalannya. Pentungannya sekarang diketuk-ketukkan ke badan angkot. Waduh!

Ternyata pengemis tadi bukan berkaki buntung. Dengkul yang terbungkus sarung, yang tampak terlalu besar, adalah lutut yang ditekuk, dibalut kain agar tidak lecet ketika bertelekan di kayu tengah kruk. Ada-ada saja "kreasi" si pengemis.

Bandung, 18 04 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment