Saturday, November 11, 2017

SEJARAH RT

Siapa menyangka bahwa penjajah Jepang meninggalkan sebuah sistem organisasi yang dekat dengan keseharian kita, yaitu RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga). Dapat dipastikan, tak ada seorang diri pun di negeri tercinta ini yang tidak terikat pada sebuah kelompok terkecil di atas keluarga yang disebut RT.

Penamaan RT dan RW tidak begitu jelas siapa yang memulai. Namun si Jepun menyebutnya ketika itu Tonarigumi (RT) dan   Aazzyokai (RW). Tujuan pembentukan RT dan RW oleh militer Jepang adalah untuk memperketat pengawasan tentata Jepang terhadap masyarakat jajahan.

Kalau ditilik lebih teliti, ada kerancuan dalam penggunaan istilah, RT atau RW untuk unit terkecil dalam masyarakat. RT adalah organisasi terkecil yang terdiri atas beberapa kepala keluarta atau rumah tangga. Penamaan Rukun Tetangga tampaknya cukup tepat. Organisasi di atas RT disebut RW. Setiap RW terdiri atas beberapa RT. Tetapi mengapa namanya menjadi terkesan balik ke unit yang lebih kecil daripada "tetangga" yaitu "warga"?
Anyway, "salah kaprah" itu sudah berlangsung tujuh puluhan tahun dan sudah sulit diubah.

Mengapa organisasi tersebut tetap dilanggengkan oleh Pemerintah Indonesia?  Yang jelas tujuannya bukanlah untuk memata-matai warga sebagaimana yang dilakukan penjajah. Logika pembentukan RT  adalah bahwa semakin besar ruang yang diciptakan Pemerintah, semakin besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Penciptaan ruang itu adalah dalam bentuk forum komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah di sini artinya adalah pemerintah pada level terendah yaitu kelurahan atau kampung. Dengan adanya forum komunikasi tersebut maka masyarakat bisa ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Yang paling sederhana misalnya, masyarakat menentukan apakah pada mulut jalan akan dibuatkan portal, berapa dananya, siapa yang akan mengerjakan dan bagaimana pelporan  kegiatan tersebut.

Namun, dalam keseharian, tugas seorang ketua RT tidaklah sekeren teori "ikut serta dalam mengorganisir warga untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan". Ketua RT sering berkutat dengan permasalahan antar keluarga dalam binaannya. Contoh yang sederhana adalah mengadukan kelakuan tetangga yang membuat tidak nyaman seperti menyetel musik yang memekakkan telinga, membuang sampah di lahan tetangga, tidak mau membayar iuran sampah, tetangga yang menerima tamu bukan mahrom hingga larut malam, dan banyak lagi yang lain.  Ketua RT juga mengurus administrasi  warga seperti menerbitkan surat pindah domisili, surat kematian, dan  surat pengantar pembuatan KTP. Termasuk menerbitkan "surat miskin", yaitu surat yang sering disalahgunakan.

Walau ketua RT cukup kerepotan dalam mengurus warga, dan itu juga bukan jabatan struktural dalam pemerintahan, tetap ada warga yang berdedikasi menjalankan amanah tersebut. Entah apa yang dicari. Kalau uang, rasanya tidak (kecuali yang menilep uang iuran sampah). Apakah ada "uang rokok" dari RW atau lurah, untuk ketua RT? Kalau ada, seberapa lah. Tampaknya para ketua RT di seantero negeriku tercinta ini, menjalankan profesinya lebih karena kesadaran bahwa jabatan itu diterima semata mata dengan niat ingin menolong warga. Hal lain yang kutangkap adalah adanya silaturahim yang kental antara seseorang yang berdungsi ketua RT dengan warganya. Ada rasa bermakna karena sering bertemu dengan warga.

Semoga, ketua RT dari Sabang hingga Meraoke, tetap bersemangat dalam menjalankan fungsinya.

Bandung, 22 11 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment