Saturday, November 11, 2017

SOTO LAMONGAN

"Apa ciri khasnya Mul?" tanya Adi pada Mul yang mengundangnya makan ke rumahnya. Keduanya sohib lama dan Mul sedang menjamu Adi yang sedang dinas ke kotanya. Sejak lulus kuliah sepuluh tahun lalu, baru sekarang keduanya bisa bertemu. Itupun dengan mencuri waktu di sela kesibukan keduanya.

"Pakai daging ayam. Hhmm... kuahnya suegeeerrr. Gak pakai santan seperti soto Betawi". Mul menerangkan sambil menyetir celingak celinguk, di tikungan yang trafic lightnya sedang mati. Adi yang duduk di sampingnya ikut ikutan memerhatikan lambaian tangan Pak Polisi di tengah keruwetan persimpangan itu.

"Ya, maju". Pembicaraan sekitar soto lamongan terhenti sebentar.

"Apa bedanya dengan soto Madura?" Adi melanjutkan.

"Hh..mmm ..Ha ha ha mirip mungkin ya" Mul tiba tiba tergelak ngakak. "Pokoknya kamu coba lah soto Lamongan buatan istriku. Aku sengaja tidak membawamu makan keluar. Agar lebih santai juga, ngobrol di rumahku. Tambah lagi  kamu belum kukenallkan pada istriku. Baru kusebut saja namamu".

Sejak selesai kuliah Mul dan Adi seakan putus kontak. Keduanya sibuk mengejar karir. Adi bekerja di perusahaan asing yang berkedudukan di Singapura, tetapi sebagai geolog, dia lebih banyak bekerja di site perusahaannya di daerah Timur Tengah. Sementara Mul bekerja di BI. Dunia geologi sudah ditinggalkannya. Dia lebih berminat menjadi bankir. Kesempatan itu terbuka ketika sebuah bank swasta dulu membuka lowongan kerja untuk semua jurusan.  Begitu ada lowongan di BI, Mul mencoba peruntungannya dan lulus. Karirnya menanjak cepat sehingga sekarang dia sudah berada di BI Surabaya dengan jabatan cukup tinggi.

Sepuluh tahun adalah waktu yang tidak sebentar, hingga akhirnya mereka bertemu di fb. Tetapi keduanya tidak sempat untuk saling berbagi foto dan informasi tentang keluarga dan karir.

"Istriku namanya Nining". Hanya itu cerita Mul.

"Nining? koq mirip ya...?" Adi membatin. Peristiwa beberapa tahun lalu berkelebat di kepalanya.

Nining adalah teman sekantor Adi ketika dia masih bekerja di sebuah perusahaan batubara skala daerah di Banjarmasin.  Sebagai seorang fresh graduate, Adi dengan gagah berani mengadu nasib di  Kalimantan, bahkan di site di tengah belantara. Salah satu pegawai keuangan di kantor di Banjarmasin adalah seorang gadis keturunan Dayak bernama Nining.

Adi dan Nining menjadi akrab yang akhirnya keduanya berencana untuk menikah. Namun rencana itu bubar karena peristiwa yang tragis yang tak terlupakan.

Suatu hari Adi didatangi oleh seorang laki-laki separuh baya, di kantornya di Banjarmasin. Suara gelegar laki-laki itu dan pilihan kata-kata yang dipakainya benar benar meninggalkan bekas pada diri Adi bahkan bertahun kemudian.

"Ini rupanya kau, yang disebut-sebut anak gadisku?!" pekik kalimat pertama  lelaki kampung itu, telah mampu membuat semua orang di kantor kecil itu datang ke ruang tamu tempat Adi dan tamunya duduk.  "Kau yang membuat anakku sakit. Dia muntah darah pagi ini". Adi belum menyadari kalau Nining tidak datang ke kantor pagi itu. "Ingin semua ini kubalaskan kepada dirimu!?" Kalimat ini dilontarkan dengan intonasi yang lebih tinggi. "Kalau kau tak ingin celaka, tinggalkan kota ini. Tinggalkan anakku".  Telunjuk laki-laki itu mengarah ke hidung Adi yang berdiri bagai patung.

Tak seorang pun yang berdiri berkumpul di ruang tamu itu sempat berkata-kata. Semuanya terkesima dengan adegan dua menit barusan. Terlebih Adi. Dia tak tahu telah berbuat kesalahan apa.

Sepulangnya sang tamu tak diundang itu, Adi dipanggil atasannya. Pertannyaan atasannya "Ada apa?" simple saja dijawabnya "Tidak tahu". Dari cerita Adi tentang rencananya menikahi Nining, bos Adi berkesimpulan bahwa Adi mempunyai rival untuk mendapatkan Nining. Pesaing tersebut telah memfitnah Adi dengan cara membuat Nining sakit dan mengatakan kepada Ayah Nining bahwa sakitnya Nining disebabkan oleh Adi. Kemungkinan Ayah Nining tidak suka bermenantukan pendatang seperti Adi. Atasan Adi melihat tak ada celah untuk dialog. Pertama karena melihat temperamen Ayah Nining. Kedua karena adanya rumor bahwa pesaing Adi, menganut konsep "Cinta ditolak, dukun bertindak".

Adi melihat semuanya buntu. Dia merasa bahwa hari itu adalah hari kiamatnya. Harga dirinya sebagai seorang lelaki, hancur karena dipermalukan. Ditambah lagi  ada saran dari bosnya untuk segera meninggalkan Banjarmasin, agar selamat.

"Resign?!" Adi tak habis pikir.   Karir yang baru setahun dirintisnya harus direlakan? Namun keputusan itu akhirnya diambilnya juga setelah seminggu kemudian giliran Adi yang muntah darah sehingga pingsan di kantor. Episode kehidupannya itu berusaha dikuburnya selama bertahun-tahun sampai akhirnya muncul lagi sekarang.

"Anakmu sudah berapa?" Mul membelokkan mobilnya ke sebuah gerbang rumah. Mereka sudah sampai.

"Hh..mm..belum" jawab Adi.

"Hayo kita masuk". Rumah itu sebuah rumah dinas bermodel lama tetapi terawat. Halaman dan bangunannya luas untuk ukuran rumah jaman sekarang.

"Sudah waktunya makan, kita langsung saja ke meja makan". Beriringan keduanya langsung berjalan ke ruang tengah. Di meja makan sudah tersaji beberapa makanan. Siap disantap sang tamu.

"Mama. Mana Mama?" Mul bertanya pada anaknya yang sedang menyalami Adi.  Mul berjalan ke belakang mencari istrinya.  Suara seorang perempuan terdengar menimpali suara Mul. Keduanya kemudian berdampingan keluar ke ruang makan. Istri Mul, membawa sebuah mangkok besar berisi makanan mengepul. Soto Lamongan. Nining menatap tamunya sekilas. Tersenyum. Namun dua detik kemudian barulah dia sadar. Adi? Serta merta mangkuk besar itu terasa makin panas di tangan Nining. Nining tak sanggup lagi memegangnya. Tiba-tiba "Prang!!" Isi soto Lamongan - bihun, suwiran ayam, telur, kuah berwarna kekuningan - berserakan di lantai.

Semua terperanjat. Namun yang paling terkejut adalah Adi. Siapakah pesaingnya dulu? Pesaing yang membuat dirinya sampai saat ini belum juga menikah.

Bandung, 21 05 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment